Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Putih: Perempuan di Tepi Dermaga

Foto: id.aliexpress.com

Perempuan itu barangkali selugu namanya. Orang-orang memanggilnya Uti, perempuan keturunan Tionghoa yang baru-baru ini pindah ke daerah ini. Misterius memang, selain tak suka bergumul dengan perempuan-perempuan lain di sini, dia lebih senang menyendiri, duduk di tepi dermaga menghadap laut, menatap cakrawala. Kami yang sebagian besar adalah nelayan sudah sering hilir mudik di dermaga ini. Dia selalu tampak teremenung. Di balik rambutnya yang hitam panjang menjuntai sampai ke pingang, ada wajah yang putih cemerlang, putih khasnya perempuan Asia. Matanya sipit tentu saja. Kental sekali kalau dia adalah seorang peranakan. Tapi, dari mana dan siapa sebenarnya dia, tak satupun dari kami ada yang tahu. Yang kami tahu dia keturunan Tionghoa, baru pindah ke desa ini tak lama setelah berita huru-hara di ibu kota.

Hari itu, kami meninggalkan rumah lebih dini, sebab ikan-ikan kering yang siap jual harus segera di antar ke tengkulak-tengkulak di kota. Kami menuju dermaga secara rombongan. Perjalanan ini harus ditempuh dengan kapal feri. Cuaca cukup baik pagi ini. Kalau-kalau terjadi perubahan, biasanya menaiki bus dari Ende atau Maumere menjadi pilihan satu-satunya.

Kampung ini cukup kecil untuk tidak memperhatikan pendatang. Tetangga kami ya hanya itu-itu saja. Makanya tak heran jika kedatangan perempuan itu sedikit banyak menarik perhatian kami.

Sejak awal kedatangannya, ia lebih banyak diam dibanding bicara, lebih banyak sendiri dibanding berkumpul bersama kami warga kampung ini, dan lebih banyak menjauh dari hiruk pikuk warga yang sibuk memanen ikan, mengeringkannya, lalu menjualnya.

Perempuan itu melihat ke arah kapal kami ketika mesin kapal mulai menderu. Agaknya, lamunannya terganggu oleh suara bising mesin dan teriakan-teriakan kami sahut menyahut. Sudah menjadi kebiasaan nelayan Lolo seperti kami selalu meninggikan nada suara ketika memanggil satu dan yang lain. Barangkali ini karena kebiasaan melawan arus laut dengan suara nyaring ketika mencari ikan.

Sepanjang perjalanan kami membicarakan perempuan berkulit putih itu. Gerak-geriknya selalu menarik perhatian. Kemisteriusannya membuat mulut-mulut kami enggan diam.

“Habis mau bagaimana lagi, dia cantik tapi aneh. Kalau kami dekati dia menjauh. Saat kami Tanya dia melengos. Ya nggak heran kalau dia jadi bahan gunjingan.” Kata salah seorang di antara kami sambil membenarkan duduknya yang oleng karena guncangan kapal.

“Ada yang bilang kalau dia itu datang dari pulau seberang. Katanya dia dibawa oleh kapten kapal yang suka datang ke Lolo membawa turis-turis.” Sahut perempuan di samping buritan.

Ya, kampung kami memang kecil tapi banyak sekali wisatawan yang datang hanya untuk melihat keindahan di kampung ini. Tak seperti zaman dulu, kampung kami kini ramai sesak oleh turis. Kami sampai jengah. Sampah-sampah sering berserakan dan ujung-ujungnya kami yang harus membersihkan.

Kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan perempuan tadi ada benarnya. Uti, sebutan perempuan Tionghoa itu, memang sepertinya ada hubungan dengan kapten kapal sering wara-wiri ke kampung ini.

“Tapi, kabarnya sudah lebih dari tiga bulan dia nggak datang bawa turis.” Saut Lado, laki-laki bermantel hitam yang sedari tadi tampak menahan mual karena mabuk laut. Nelayan kok mabuk laut.

“Kapalnya sudah tenggelam katanya, di dekat pulau seberang.” Kata yang lainnya.

Kami semua terhenyak, kaget. Pasalnya beberapa bulan lalu memang ada berita yang cukup mengerikan. Kapal feri dari Sape ke Labuan Bajo yang datang hampir tiap tiga hari sekali itu tenggelam ke dasar laut. Banyak bangkai berserakan mengapung di lautan setelahnya. Kami sampai tidak bisa melaut karena lautan dipenuhi dengan serpihan kapal juga sisa-sisa bagian tubuh para korban. Tapi, berita yang kami dengar dan kami lihat hanya sampai di situ. Tak ada kabar apapun mengenai kapten kapal dan kaitannya dengan perempuan di tepi dermaga itu.

Kami semua terdiam, seolah tengah mengingat kembali kengerian dan kepedihan tragedi itu. Betapa tidak, barangkali ini baru pertama kalinya kami melihat sendiri ratusan tubuh manusia bergelimpangan terapung-apung di lautan dengan minyak-minyak tubuhnya yang mulai memberi warna tersendiri pada lautan.

Tak butuh waktu lama, kami sudah kembali ke kampung. Cuaca cukup bagus hari ini, kami tidak perlu naik bus dari Ende ke Maumere. Kami pulang dengan hati riang. Penjualan ikan hari ini cukup memuaskan. Rombongan ramai berbincang membicarakan kepuasaan hari ini. Ada yang tertidur sambil memeluk buntalan tas berisi uang, ada yang merokok di buritan, ada yang sibuk mengipasi dirinya sendiri karena cuaca panas membuat keringat bercucuran. Sore ini orang-orang pulang dengan bahagia.

Dari kejauhan kami sudah sibuk membicarakan perempuan putih itu. Pasalnya, kami mengira dia pasti sedang asyik melamun seperti biasa di tepi dermaga itu. Kami heran ketika tak mendapati perempuan dengan rambut panjang itu di dermaga. Satu hal yang aneh. Karena biasanya, hampir tak pernah absen, perempuan itu selalu duduk di tepian dermaga tiap pagi dan sore.

Kami sampai di dermaga dan heran melihat banyak orang termasuk sanak saudara kami yang sedang berkumpul di sana. Memasang wajah serius sambil saling melempar pandangan miris, mereka seakan-akan mengisyaratkan bahwa telah terjadi sesuatu.

“Perempuan Tionghoa itu hilang.” Kata salah satu perempuan yang sedang menggendong anaknya.

“Hilang?” kami semua mengernyitkan dahi.

“Bajunya mengapung di lautan, kami kira dia terjun ke laut, tapi kami tidak menemukan tubuhnya. Hanya bajunya.” Sahut yang lain.

Kami melihat baju perempuan itu di pinggiran dermaga, basah, dan tak bertuan.

Perempuan itu tak lagi muncul di pinggir dermaga. Hanya desas-desus yang mengatakan kalau setiap malam ada suara meminta tolong. Tapi entahlah, ini masih jadi misteri, kami berharap dia masih hidup di suatu tempat dan bahagia.

***

1 komentar untuk "Putih: Perempuan di Tepi Dermaga"