Affogato
Oleh Neneng Pratiwi
“Gimana kalau aku nggak bisa menemukan yang
lebih baik dari kamu?” Emosi mulai menguasaiku.
Ada
jeda yang cukup lama.
“Kamu
hanya belum menemukan.” Dia mencoba meyakinkanku. Aku kehabisan kata-kata.
Kubiarkan
tubuhnya mendekatkan diri pada tubuhku. Perlahan kedua tangannya merengkuh
lenganku. Pelukannya begitu menyesakkan dada. Hangat, namun tak menyapu hatiku
yang kadung porak-poranda. Pelan-pelan kulepaskan rengkuhannya.
***
Suara
mesin yang meremukkan biji kopi terdengar dari balik meja barista. Seketika
aroma kopi membaui seisi kedai kopi yang saban Minggu aku datangi. Selain
interiornya yang didominasi kayu-kayuan, letaknya yang tak begitu jauh dari rumah
tinggalku juga menjadi alasan mengapa kedai kopi ini menjadi pilihan.
Beruntungnya, hari ini suasana di tempat ini tak terlalu ramai, juga tak begitu
lengang. Atmosfirnya memang mendukung pelanggan yang jumlahnya tak seberapa
untuk berbincang ringan.
Selepas
menelaah daftar menu, lagi-lagi aku menjatuhkan pilihan pada affogato. Bukan karena ingin nampak
khatam soal kopi, tapi karena awalnya aku salah beli. Pikirku affogato tak
ubahnya iced coffee yang di-blend dengan bubuk cocoa. Aku salah mengira. Nampaknya
sok tahu harus masuk dalam daftar sakit gila nomor sekian. Meski affogato adalah kecelakaan, tapi anehnya
aku malah ketagihan. Aku lantas mengenyakkan diri pada kursi kayu, tepat di
sebelah jendela. Sebuah pesan nampak di layar ponselku.
Tunggu bentar ya, on the
way.
Ok, Kedai Kopi Mahoni ya.
Udah aku googling sih
tempatnya.
Minggu
sore ini terasa begitu spesial. Ada seseorang yang kutunggu. Akan seperti apa
perjumpaanku dengannya, aku tak cukup punya nyali untuk membayangkannya.
Sedikitnya aku berusaha tampil lebih perempuan dengan memoleskan lipstick di bibir.
Ini perjumpaan setelah 6 tahun tak bersua dengannya. Patut untuk kurayakan.
Nyaris
hanya berbeda sekian menit setelah aku menuangkan espresso di atas 1 scoop ice cream vanilla, yang ditunggu
akhirnya datang. Mengenakan jeans hitam dan kemeja putih yang nampak serasi
dengan kulit cokelatnya. Sejenak parfumnya yang beraroma musk bercampur dengan aroma kopi. Dia datang menghampiri dengan air
muka yang cerah. Dia selalu begitu dari dulu. Seolah hidupnya tak pernah
dirundung kesedihan, apa memang benar demikian?
“Hei!
Apa kabar kamu? Lama banget nggak ketemu.” Sapanya sembari menjabat tanganku.
“Hai,
Damar. Kabarku baik sih.” Aku berusaha menstabilkan renyut jantung yang
mendadak naik-turun seketika. Dia pun duduk di hadapanku.
“Sih?”
Dia mencoba mengulik penjelasan.
“Nggak,
aku baik-baik aja.. Ya, emang hidupku sejauh ini mengalir gitu aja.” Tak berapa
lama aku mulai mencecap manisnya affogato.
“Mmm..
kayaknya aku bakal pesen menu yang sama kayak kamu, deh.” Dia masih sama,
enggan direpotkan dengan banyak pilihan. Seolah tak punya waktu untuk menelaah
Arabica, Robusta, atau Aceh Gayo.
“Udah
berapa lama kamu tinggal di kota ini?” Kembali dia melanjutkan obrolan
“Belum
ada setahun. Kamu sendiri gimana? Kerja? Atau kamu masih setia bermusik?”
Giliranku yang mulai menginterogasinya.
“Huft,
aku menghela napas dulu. Pertanyaan kamu banyak ya?!” Ucapnya sembari setengah
tertawa. Sungguh, rasanya Tuhan sedang berbaik hati karena mempersilakanku
memandangi wajahnya.
“Sekarang
aku jadi interior designer di
Jakarta. Soal musik, sesekali aku masih sering ngejam di hari libur.” jelasnya.
“Gila
sih, itu yang bikin aku ngiri sama kamu. Kamu jago semuanya. Ya gambar, ya mainin
alat musik. Sedangkan aku?” Pujian sedikit aku lontarkan padanya. Sementara
yang dipuji hanya menyunggingkan senyuman di bibir.
Obrolan
kami terus berlanjut hingga affogato
yang dipesannya datang. Kami membicarakan pekerjaan, masa depan, hingga lagu
apa yang ada dalam playlist kami masing-masing. Tak lupa, bernostalgi kala kami
masih mengenakan seragam putih-abu. Perbincangan yang ditemani dengan manisnya
ice cream vanilla yang bercampur dengan pahitnya espresso, melumer dalam mulut.
Jika benar waktu bisa dihentikan, ingin rasanya aku hentikan sejenak
hingar-bingar dunia. Demi membingkai momen bersamanya.
Hai, Damar. Tetaplah di
situ. Aku hanya ingin bisa bertukar kata seperti ini setiap hari. Tetiba aku membatin.
Seandainya aku bisa
bertukar jiwa denganmu. Tak lebih dari sehari. Supaya kamu tahu, bagaimana hati
ini begitu berdebar untukmu. Bagaimana sukarnya mengendalikan perasaan ketika
berhadapan denganmu. Bahwa betapa menatap matamu sudah cukup membuatku
melupakan getirnya hidup.
Bagiku kamu bukan obsesi
yang kutuntut untuk dimiliki. Sederhana saja, bisa berbincang kapanpun denganmu.
Bertemu denganmu setiap hari, aku begitu ingin membagi semua mimpiku bersama
kamu.
Tapi, bukankah untuk itu
aku harus berani memperjuangkanmu? Bukankah itu artinya aku harus tak punya
malu menawarkan komitmen padamu? Sayangnya aku terlalu pengecut untuk itu.
“Gerimis..
Miris mengundang tangis..” di tengah jeda percakapan kami, aku menoleh
memandangi bulir-bulir hujan yang perlahan membasahi pelataran parkir kedai
kopi. Aku pun sejenak membuang pandang pada jendela. Menikmati pemandangan
orang yang lalu-lalang, mereka nampak melindungi kepala dari air hujan.
“Mulai
puitis!” Dia meledekku dengan wajah tengilnya.
Tak
berapa lama dia menyodorkanku sepucuk kertas jasmine. Warnanya hangat, putih
tulang. Aku berusaha mencerna situasi ini. Bukan, aku berusaha menafsirkan apa
yang tengah disodorkannya. Atau mungkin sebenarnya aku sudah paham ini apa,
hanya saja aku tengah berupaya untuk memercayai ini nyata.
“Aku
mau nikah bulan depan. Sebagai teman terbaikku, kamu harus ada di hari
bahagiaku.” Jelasnya dengan rona mata bahagia.
Detik
itu indra pendengaranku mendadak tumpul, aku kesulitan mendengar suara orang di
sekitaran. Yang terdengar hanya sayup-sayupnya saja, bahkan aku tak lagi
sanggup membaui aroma kopi yang menyusup indra penciumanku.
Hari
ini aku kembali jatuh cinta dan patah hati pada waktu yang bersamaan. Yang
sayangnya masih dengan dia yang sama.
“Selamat
ya, Dam.. Finally kamu nikah sama dia.” Aku menyalaminya sesaat setelah aku
membaca namanya dan nama pasangannya yang tertera pada kertas yang wanginya
mengisyaratkan kebahagiaan. Nama pasangannya bukan orang lain buatku, kami
saling kenal. Bahkan berteman cukup dekat.
“Thanks
ya… Kamu harus dateng…” Pintanya.
“Pasti.”
sekeras tenaga aku berupaya mengendalikan diri.
“Kayaknya
aku harus cabut deh. Aku harus balik ke hotel. Jam 7 nanti harus udah di
bandara.” Tapi aku tak lagi peduli dengan yang dikatakannya.
Dunia
di sekelilingku dengan teganya berjalan begitu saja, seolah tak memedulikan
betapa nelangsanya hati ini. Kami pun mengakhiri percakapan dan aku berjalan
keluar kedai kopi. Sementara
ia tengah melunasi affogato di kasir, aku menunggunya di depan kedai kopi untuk
salam perpisahan.
Aku
mematung sembari menggenggam undangan pernikahannya. Yang kutunggu menghampiri.
“Jadi…
kamu ke sini hanya untuk kabar ini?” Aku menodongnya dengan pertanyaan bernada
pelan. Sekuat tenaga aku menahan agar bulir air hangat yang menyesakki mata ini
tak jatuh ketika berhadapan dengannya.
“Aku
tahu semuanya. Kamu nggak mungkin seumur
hidup menungguku. Kamu pasti menemukan yang lebih baik dariku.” Ucapnya sembari
menatapku dalam. Seolah setengah memohon.
“Gimana
kalau aku… nggak bisa menemukan yang lebih baik dari kamu?” Emosi mulai
menguasaiku.
Ada
jeda yang cukup lama.
“Kamu
hanya belum menemukannya.” Dia mencoba meyakinkan. Aku kehabisan kata-kata.
Kubiarkan
tubuhnya mendekatkan diri pada tubuhku. Perlahan kedua tangannya merengkuh
lenganku. Pelukannya begitu menyesakkan dada. Hangat, namun tak menyapu hatiku
yang kadung porak-poranda. Pelan-pelan kulepaskan rengkuhannya. Ingin segera
melenyapkan diri darinya. Tanpa salam perpisahan dan janji untuk kembali
bertemu, aku berjalan menjauhinya. Kubiarkan rintik hujan membasahi rambutku.
Tak
berapa lama dia mendekat sembari memayungiku.
“Aku
tahu kamu mau pulang sendirian, tapi nggak dengan hujan-hujanan.” terangnya.
Aku
menyambut tawarannya, tanpa sepatah kata pun. Dan aku kembali berjalan
menjauhinya. Pada suatu sore yang berhujan, aku tak lagi bermain dengan
kemungkinan. Tak lagi menggantungkan harapan.
Aku
berjalan merunduk, meratapi tempias hujan yang bermain di atas aspal. Seketika
bulir air hangat mengalir di pipi ini. Menangis dalam naungan payung miliknya.
Sementara langit semakin menghantarkan sore kepada malam. Dan aku tak ‘kan
mampu melupakannya…
*Sumber gambar: pinterest.com
Posting Komentar untuk "Affogato"