Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malam Itu…

Gambar terkait
riaurealita.com

Aku melihatnya, perempuan itu, di antara hiruk pikuk orang-orang yang antre menunggu secangkir teh hangat pesanannya. Ia tak menampakkan gelagat aneh. Seperti biasa, ia meracik teh dari bunga krisan itu, merebusnya, lalu menuangkannya ke dalam cangkir dan gelas-gelas di meja. Benar-benar tak ada gelagat aneh. Kuperhatikan wajahnya biasa saja, bahkan senyum manis yang khas masih tetap ia lontarkan kepada para pembeli yang sudah rela antre dengan sabar. Senyum itu manis dan unik seperti rasa teh buatannya.

Tak seperti malam-malam biasanya, kali ini ia hanya ditemani bibinya. Kewalahan memang. Betapa tidak, orang-orang mengantre teh seperti mengantre sembako murah. Ada juga mobil dan motor yang berderet persis ular tangga hampir sampai ujung jalan sana, entah berapa kilo. Sementara aku? Aku memilih untuk meminggirkan kendaraanku di samping kedai hanya untuk memastikan bahwa perempuan peracik teh liang itu baik-baik saja.

“Lin, teh nya enam ya!” ujar laki-laki dalam mobil tipe HR-V 1.5L E CVT merah itu yang dibalas dengan senyum dan anggukan mantap oleh perempuan itu. Agaknya mereka memang saling mengenal.

Kedai ini memang kecil, hampir mirip drive thrue orang-orang bisa memesan teh dari dalam mobil, menunggunya, lalu meminumnya di tempat. Tidak mengherankan jika antrean sampai berderet panjang. Teh Liang milik Lin Wang, nama perempuan itu, memang terkenal di daerah ini. Meski kedai ini kecil, tapi orang-orang selalu berdatangan demi menikmati teh dengan aroma krisan yang unik ini. Ketika semua orang mengikuti perkembangan zaman, Lin memilih kesederhanaan dalam teh dan kedainya. Perempuan itu, ya perempuan itu memang demikian sederhana, tetapi daya pikatnya membius. Lin dan teh nya memang seperti candu yang membuat orang-orang rela antre panjang yang semakin malam semakin mengular.

Aku ingin mendekatinya, tapi ragu. Kuingat-ingat lagi kejadian malam itu, sungguh pahit. Rasanya seperti Lin tidak akan pernah muncul lagi di kedai ini. Aku cukup kaget sebenarnya ketika melihat Lin masih bersikap biasa saja dan tersenyum semanis biasanya. Barangkali memang begitulah Lin, perempuan yang telah kukenal sejak kecil itu. Selalu bisa mengubur persoalan hingga liang terdalam dari kehidupan dan membuat orang berpikir seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Setelah kulihat antrean berakhir, pembeli terakhir lewat sambil menyerahkan uang tiga puluh lima ribu rupiah kepada Lin, aku mendekati Lin. Perempuan itu tengah sibuk membereskan teko tua berwarna emas beraksara cina dan gelas-gelas kotor di atas meja. Bibinya membalikkan dua kursi kayu yang sedari tadi dipakai mereka untuk duduk di sela-sela melayani pelanggan. Lin tengah mencopot banner kecil bertuliskan

“Teh Liang Wang: Perniagaan, Tidak ada Cabang” yang menempel di tembok  ketika ia kemudian menyadari kedatanganku.
“Baru datang kamu? Teh nya sudah habis.” Ujarnya sambil melipat banner. Wajahnya yang sedari tadi dipenuhi dengan senyum manis seketika berubah muram ketika melihatku. Aku semakin gugup.
“Iya, sayang sudah habis.” Sahutku terbata-bata meski sebenarnya aku menjawabnya hanya untuk basa-basi.


Aku tidak bisa membuka percakapan apapun dengannya, bahkan sekadar untuk meyakinkannya kalau aku tidak akan menceritakan kejadian malam itu pada siapapun. Agaknya Lin memang punya ketakutan tersendiri kalau-kalau cerita tentang hal mengerikan yang dialaminya malam itu tersebar. Karena itulah, raut wajahnya berubah serius ketika melihatku.

“Kedai ini tidak akan berubah, aku tidak akan mengubah apapun di kedai ini. Krisan harus tetap beraroma krisan, tidak boleh berubah jadi matcha atau apapun yang pernah kamu nikmati di café-café.” Ujar Lin seolah menegaskan bahwa apapun yang akan terjadi padanya, kedai Teh Liang nya tidak akan pernah ia berikan pada siapapun dengan harga berapapun.

Malam itu kami lebih banyak diam dibanding bicara. Lin memang perempuan dengan pendirian yang kuat. Ia perempuan tangguh sejauh yang aku tahu. Meski sering aku melihat ia dipinggirkan pada beberapa kesempatan karena bermarga Wang, karena matanya yang sipit, karena ia pedagang, ia tetap berdiri tegar dalam kesederhanaannya, berjualan teh warisan leluhurnya.

Tetapi, peristiwa malam itu membuat Lin tampak gusar. Aku bahkan tidak sanggup untuk mengingatnya, seberapapun bayangan tentang malam itu berkali-kali mampir sebagai mimpi buruk, aku masih tetap tak sanggup untuk mengingatnya. Kukira Lin merasakan hal yang sama.

Seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali ke kedai Lin. Kedai itu masih sepi tidak seperti biasanya. Lin tidak memberiku kabar apapun kalau kedai tidak akan buka. Benar saja, malam itu Lin tak muncul. Kedai tutup meski pelanggan telah antre demikian panjang. Aku berusaha menghubungi Lin, tetapi nomor telepon perempuan itu tidak aktif. Kudatangi rumahnya, tempat itu pun sepi tak berpenghuni.  

Sudah dalam hitungan bulan, kedai Lin masih tutup dan perempuan itu menghilang begitu saja tanpa kabar. Ada apa dengannya?

Aku kaget ketika kudatangi kedai itu, kulihat HR-V 1.5L E CVT merah terparkir di depannya. Agaknya laki-laki kenalan Lin waktu itu tengah serius membicarakan sesuatu dengan laki-laki berperawakan tinggi dengan helm proyek berwarna putih di depannya. Dari penampilannya kukira ia seorang kontraktor. Aku hampir mendekat untuk menanyakan barangkali ia tahu tentang keberadaan Lin ketika kemudian kulihat tanah di belakang kedai tak lagi sama seperti sebelumnya.

Rata.

Satu kata yang membuatku terhenyak dan bertanya-tanya. Kenapa Lin? Apa yang membuatnya mengambil keputusan ini? bagaimana bisa perempuan setangguh Lin pada akhirnya menyerah?

Barangkali semua karena kejadian mengerikan malam itu, kejadian yang harus kutelan dan kulupakan, kejadian yang tak boleh kuceritakan kepada siapapun, termasuk kepadamu. ***

Posting Komentar untuk "Malam Itu…"