Shamanisme dalam Drama Korea: Antara Warisan Budaya dan Daya Tarik Visual
![]() |
Foto: Head Over Heels TVN |
Dalam beberapa tahun terakhir, penonton drama Korea banyak disuguhkan dengan gelombang tayangan bertema supranatural dan spiritual, terutama yang menampilkan unsur shamanisme (shamanism). Sebut saja beberapa drama seperti The Guest, Revenant, Alchemy of Souls, Bride of the Water God, Exhuma, The Haunted Palace, hingga yang terbaru Head over Heels.
![]() |
Foto: Exhuma |
Beberapa drama ini menunjukkan bagaimana unsur mistik dan ritual tradisional menjadi bagian integral dari cerita. Lantas, kenapa konsep cerita shamanisme di drama Korea lebih bisa diterima dibandingkan dengan konsep dukun di Indonesia? Berikut ini MawarMera akan mengulas selengkapnya.
Shamanisme dalam Konteks Budaya Korea
![]() |
Foto: Shamanisme Korea (Britanica) |
Di Korea, Shamanisme atau yang dikenal sebagai Muism, adalah kepercayaan asli masyarakat Korea yang telah ada sebelum masuknya agama-agama besar seperti Buddha, Konfusianisme, dan Kristen. Dalam budaya Indonesia, Shaman serupa dengan seorang dukun. Di Korea, dukun-dukun ini disebut Mudang (perempuan) atau Baksu (laki-laki) yang bertugas sebagai perantara antara dunia roh dan manusia. Mereka melakukan ritual yang disebut kut, yang mencakup tarian, musik, persembahan, dan mantra untuk menyembuhkan penyakit, mengusir roh jahat, atau membawa keberuntungan.
Walaupun sempat ditekan oleh rezim militer dan agama konservatif, shamanisme di Korea tidak pernah benar-benar hilang. Ia tetap hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan, seni pertunjukan, dan kini, semakin terlihat dalam produk budaya populer seperti K-Drama dan film. Alih-alih dianggap sesat, kini banyak orang Korea memandangnya sebagai warisan budaya yang unik dan eksotis, terutama generasi muda yang mencari akar identitas mereka di tengah modernisasi.
Shinbyong sebagai Awal Takdir Seorang Shaman di Korea
Menurut Korean Society, tanda pertama bahwa seseorang mungkin ditakdirkan untuk menjadi seorang shaman adalah ketika ia mengalami shinbyong atau yang disebut sebagai "penyakit roh”. Penyakit ini bukan penyakit biasa yang tidak bisa dijelaskan secara medis. Di Indonesia, penyakit semacam ini pun seringkali ditemui ketika seseorang mengalami gangguan non-medis atau gangguan jin.
Shinbyong seringkali muncul dalam bentuk gejala fisik dan psikologis seperti hilangnya nafsu makan, gangguan tidur, kegelisahan ekstrem, hingga halusinasi. Menariknya, pengobatan modern tidak mampu menyembuhkannya dan satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan menjalani ritual khusus bernama narim kut. Ritual ini merupakan sebuah upacara inisiasi untuk menjadi Shaman. Dalam upacara ini, calon Shaman akan melewati rangkaian prosesi spiritual, menyatu dengan roh, dan menerima peran barunya sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia roh.
Ritual Kut Jadi Spektakel Spiritual yang Penuh Simbol
Ritual kut adalah inti dari praktik Shamanisme Korea. Dalam upacara ini, seorang Shaman tampil dengan busana warna-warni yang mencolok, topi tradisional, dan perlengkapan ritual seperti lonceng, pedang, trisula, dan genderang. Semua elemen ini tidak hanya estetis, tetapi juga sarat makna simbolik untuk menandai kehadiran kekuatan roh, perlindungan diri, serta koneksi dengan dunia spiritual.
Ada berbagai jenis kut yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari kut untuk menyambut musim panen, menyucikan arwah orang yang meninggal, menyelesaikan konflik rumah tangga, mengatasi penyakit, hingga merestui calon shaman yang baru. Ritual ini bersifat fleksibel, baik secara personal maupun komunal, dan tetap lestari hingga kini di tengah gempuran budaya modern.
Shamanisme di Korea terus mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya sejarah dan mengalami percampuran dengan elemen agama lain. Menariknya, pantheon dewa dan roh dalam Shamanisme Korea kini tak hanya mencakup entitas tradisional, tetapi juga tokoh-tokoh besar seperti Budha hingga Yesus.
Fakta ini menunjukkan bahwa Shamanisme Korea memiliki kemampuan adaptasi tinggi, menerima pengaruh luar sambil mempertahankan intinya sebagai spiritualitas lokal. Bahkan, banyak kuil di Korea yang menunjukkan perpaduan antara ajaran Buddha dan praktik Shamanisme, mencerminkan bentuk koeksistensi agama yang khas.
Menjelma Budaya Populer
Seiring dengan perkembangan zaman, Shamanisme tidak hanya seputar ritual spiritual, tapi juga telah menjelma budaya populer. Banyak pengamat budaya melihat bahwa popularitas agama di Korea modern memiliki akar dari budaya Shamanistik sebelumnya, di mana kebutuhan akan pengalaman spiritual langsung dan kehadiran "penyembuh" tetap hidup dalam bentuk baru.
Bahkan, bisnis ramalan dan peramal nasib yang menjamur di Korea Selatan, baik di jalanan hingga aplikasi digital, seringkali dianggap sebagai perpanjangan kontemporer dari Shamanisme yang kini dikemas lebih modern, tetapi tetap berakar pada prinsip spiritual lama, yakni membantu orang memahami nasib dan menghadapi ketidakpastian hidup.
Representasi Shamanisme dalam Drama Korea
![]() |
Foto: The Haunted Palace (SBS) |
Drama Korea menunjukkan bahwa budaya pop bisa menjadi alat restorasi citra bagi elemen-elemen budaya tradisional. Alih-alih menghapus Shamanisme demi citra modern, Korea justru mengangkatnya ke layar dengan sentuhan sinematik modern dan bumbu narasi yang estetis sehingga budaya tradisional ini memiliki ruang bagi masyarakat modern, tidak hanya di Korea tapi juga hingga ke luar negeri termasuk Indonesia.
Dalam drama Korea, Shamanisme direpresentasikan sebagai simbol pencarian identitas, perlawanan terhadap rasionalitas mutlak, dan jembatan antara masa lalu dan masa kini. Sementara itu, gambaran dukun di Indonesia masih tertinggal dalam bayang-bayang stigma dan ketakutan.
Jika ingin menggali kekayaan budaya lokal, Indonesia perlu berani menampilkan sisi lain dari praktik spiritual dalam bentuk narasi yang positif, berimbang, dan sinematik. Karena pada akhirnya, budaya yang bisa bertahan bukanlah yang paling murni, tapi yang mampu beradaptasi dan diterima oleh generasinya.
Sebagai contoh, drama terbaru yang mengangkat cerita Shamanisme adalah Head over Heels (2025). Drama ini bercerita tentang seorang anak SMA bernama Park Song-ah yang menjadi seorang Shaman atau dukun. Ia terlahir sebagai seseorang yang memiliki kelebihan yakni bisa melihat roh. Ia pun hidup sebagai Mudang (dukun wanita). Element Shamanisme di drama ini menjadi cerita yang ditonjolkan. Ritual pemanggilan roh (Gut) ditampilkan secara sinematik. Konflik batin tokoh utama menjadi cerminan bagaimana generasi muda Korea kini sering berada di antara dua dunia, modernitas dan akar budaya. Dalam drama ini, Shamanisme direpresentasikan sebagai perlindungan dan bukan sekadar horor.
Selain Head over Heels, film box office Exhuma (2025) juga menyajikan representasi Shamanisme yang sangat menarik. Melalui perjalanan dua Mudang (dukun spiritual) dan satu ahli feng shui, Shamanisme sangat ditonjolkan. Tak hanya itu, film ini juga menyelipkan kritik sosial tentang bagaimana masyarakat modern meremehkan warisan budaya leluhur. Di sisi lain, ia juga menunjukkan bahwa dalam kondisi ekstrem, bahkan orang modern pun kembali mencari solusi pada praktik spiritual.
Film ini juga menunjukkan bahwa Shamanisme bukan tentang kepercayaan buta, tapi tentang menghormati tatanan yang sudah lama ada. Dalam budaya Korea, ada keyakinan bahwa makam leluhur yang tidak dikelola dengan baik bisa membawa nasib buruk bagi keturunannya.
Kenapa Shamanisme Korea Lebih Mudah Diterima Dibanding Dukun di Indonesia?
![]() |
Foto: The Cursed (Time Indonesia) |
Salah satu kunci kenapa shamanisme dalam drama Korea bisa diterima luas adalah representasinya yang estetis, dramatis, dan manusiawi. Para Mudang sering digambarkan sebagai karakter yang kuat, memiliki kepekaan batin, dan memiliki beban emosional akibat kepekaan spiritual mereka. Ritual-ritual yang dilakukan pun divisualisasikan dengan sinematografi yang indah, penuh warna, gerakan tari yang memesona, dan iringan musik tradisional yang menyentuh emosi. Contohnya, dalam Revenant (2023), shamanisme dipadukan dengan thriller psikologis dan misteri, membuat elemen ritual terasa menegangkan sekaligus memukau. Sementara dalam The Guest, ritual pengusiran roh jahat dilakukan dengan koreografi yang rumit dan ekspresi emosional yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar atraksi mistik.
Selain itu, alasan terkuatnya yakni lantaran kuatnya keyakinan terhadap agama. Berbeda dengan Korea yang tidak memiliki agama nasional, di Indonesia terdapat beberapa agama nasional yang dianut oleh masyarakatnya, termasuk agama Islam yang menjadi agama mayoritas. Islam memandang praktik perdukunan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama. Modernisasi dan pendidikan formal juga turut mendorong masyarakat menjauh dari praktik tradisional yang dianggap tidak ilmiah.
Shamanisme Korea bukan sekadar praktik spiritual kuno. Lebih dari itu, Shaminsme juga menjadi bagian dari identitas budaya yang terus hidup, bertransformasi, dan menemukan bentuk baru dalam dunia modern. Dari shinbyong hingga kut, dari kuil hingga drama populer seperti Exhuma dan Head Over Heels, Shamanisme menunjukkan bahwa spiritualitas lokal bisa tetap relevan jika diberi ruang dalam narasi budaya.
Sumber:
www.koreasociety.org
https://www.koreaherald.com/article/3092340
Posting Komentar untuk "Shamanisme dalam Drama Korea: Antara Warisan Budaya dan Daya Tarik Visual"