Alienisme
![]() |
Foto: Pixabay |
Kala itu aku mendengarnya bersamamu. Ada penyakit dalam jiwaku. Penyakit? Ya sesuatu yang menjadikanku berbeda denganmu. Itulah mengapa aku benci suara-suara dan manusia dengan kebisingannya selalu membuat sakit kepalaku. Di tengah-tengah keramaian aku akan menjadi begitu kerdil, seakan bumi melambatkan putarannya membuat tubuhku terpelanting jauh. Saat sadar, aku melihat wajah ayumu itu, kau tengah duduk disampingku sembari memegang erat tanganku dan membaca doa-doa keselamatan.
Malam tadi, aku diserang ribuan
semut hitam. Entah dari mana datangnya serombongan semut-semut itu. aku gelisah
tapi tak takut karena semut-semut lebih tenang dari manusia. Aku biarkan saja
mereka mengerumuni tubuhku. Kau tahu? mereka diam, tak seperti manusia yang terlalu
banyak suara dan mengerikan. Rumah ini begitu damai sejak kepergianmu, meski
terkadang aku mengutuki diri sendiri saat benar-benar merindukanmu. Seringkali
aku merindukan senyum ayumu juga aroma tubuhmu, meski tak jarang aku juga marah
padamu terlalu banyak. Karena itulah kau pergi, jauh meninggalkan rumah ini.
Masih kuingat dengan jelas saat kau bilang “aku mencitaimu, tapi ijinkan aku
mencintai yang lain.”
Awalnya ucapan itu hanya kuanggap
sebagi gurauan jenaka seorang istri bersuamikan makhluk sepertiku. Lambat laun
baru kusadari gurauanmu benar-benar isi hatimu yang nyata. Rupanya kata-katamu
itu adalah permohonan agar aku melepasmu meninggalkan rumah ini,
meninggalkanku. Aku kesal tapi tak benci padamu. Kudoakan semoga perjalananmu
meninggalkan ubin-ubin rumah ini dinaungi dengan kebahagiaan. Kini aku cukup
bahagia tanpamu. Begitu kunikmati hidup dalam sepi. Kau tahu, kesendirian
adalah goa abadi sebagai persembunyian yang layak bagiku. Kau pun tahu aku
benci hingar-bingar kehidupan dan aku benci manusia tapi tak membencimu.
Sejak kau pergi, rumah ini hanya tinggal aku dan semut-semut yang kadangkala mengunjungiku tiba-tiba, juga laba-laba yang telah membuat sarang di langit-langit rumah kita. Kupikir mereka betah di sana. Mereka diam tak bising seperti manusia, juga setia menemaniku tanpa suara, seperti halnya kau. Dulu. Inilah rumah kita setelah kepergianmu. Kursi kayu di pojok ruang telah habis oleh rayap-rayap, tak apa. Mereka perlu dan aku tak lagi memerlukannya setelah kepergianmu, karena tak akan ada lagi yang menemaniku duduk di sana, memandang hujan sambil minum secangkir kopi hangat. Kita selalu beromantika dalam diam. Ubin-ubin tak lagi selicin dulu, tak ada lagi yang membersihkannya. Aku ingat kita selalu berdebat panjang untuk membersihkannya.
“ya sudah terserah kau saja.”
Kau membentak kesal sambil melempar sapu dan pengki ke lantai, lalu aku ikut membanting meja. Aku kesal karena kau mulai banyak bicara juga kesal mendengar suaramu yang membuat sakit kepalaku. Sakit luar biasa. Tapi, kau justru kesal karena aku tak pernah bicara. Kau terus bertanya dan aku tak menjawab, lalu kita berdua kesal.
Kamar kita kini menjadi gudang tua.
Kapas-kapas dalam kasur habis dicabik-cabik si tikus yang lari dari kucing
pemangsanya. Selimut kita menjadi begitu pesing dikencinginya. Tiap hari mereka
begitu bising dan aku tak menyukainya, ini terlalu menyakitkan kepala. Tapi,
suatu hari meraka tak lagi datang ke rumah ini. Barangkali ada yang
menyembelihnya. Baju-bajumu yang kau tinggalkan kini telah kuguntingi jadi
selembran-selembaran untuk kujadikan sarang ayam. Biar bertelur dan telurnya
bisa kumakan tiap hari. Semua karena kau tak lagi di sini memasakanku nasi
lalap dengan sambal terasi dan jengkol kesukaanku. Kumakan telur itu
mentah-mentah biar pedih hati babon melihat jabang bayinya menjadi santapan
manusia binal sepertiku. Sedang Ia hanya akan menangis seperti ini,
“kkookk....kkoookkk...petok..petok...”. Aku juga membencinya karena Ia bersuara
dan membuat sakit kepalaku.
Di dekat jendela itu masih kujaga baik-baik tulip hitam kesukaanmu. Meski potnya telah retak-retak, tapi tak terlalu pecah sejak kali terakhir kau melihatnya, aku masih menyiraminya pada jam 7 pagi, 12 siang, dan 7 malam seperti yang selalu kau lakukan dulu.
“aku menyukainya”
Kutatap lekat wajahmu dengan binar matamu yang terpancar ke seluruh sudut rumah ini. Dua wajahmu terkatup melengkung membentuk simpul-simpul manis sambil tanganmu membawa secawan air yang kau percik-percikkan lembut ke bunga hitam itu.
“Tulip hitam itu seperti kita, kita tak gila tapi berbeda. Bunga itu hitam, bukan aneh, tapi unik. Aku menyukainya dan kau juga.”
Suaramu lirih mengalun selembut belaian angin meski Ia tetap tak bisa membahasakan kerinduanku padamu. Aku hanya memagut dan mengangguk sigap menjawab tuturmu. Mestinya gambaran-gambaran indah itu hilang bersama kepergianmu, nyatanya tidak. apa karena aku begitu mencintaimu hingga kenangan-kenangan tentangmu tetap hidup dalam bingkai-bingkai memori. Kau harusnya tahu bahwa memori manusia takkan pudar kecuali oleh dua hal, mati atau tulang ekormu patah.
Begitu hening hari-hari setelah kepergianmu, tapi aku sangat menyukainya. Tak membuat sakit kepalaku. Hening akan membuat hari menjadi melankolis dan romantis. Lampu-lampu jalan di depan rumah kita menebarkan cahaya kekuningan seperti kunang-kunang yang mulai bermunculan baru-baru ini. Tuhan mengirim mereka untuk menemaniku, tapi kau justru meninggalkanku dan lebih mencintai Tuhan.
Sore ini kupakai jaket kulit hadiah darimu saat pertama kalinya kita bertemu. Itulah saat kau baru datang dari Jakarta. Kau dan juga kawan-kawanmu yang begitu bising itu. Apa kau bertanya-tanya mengapa aku tahu? karena aku mengintipmu dari pagar rumah pak kades yang bolong. Kau paling cantik dengan senyum begitu indah. rambut lurusmu tergerai panjang memenuhi punggung, senyummu merekah memancarkan cahaya-cahaya surga. Tubuh semampaimu serupa gambaran Drupadi dan kau Drupadi yang tercantik.
“Seruni”
Ketika salah seorang temanmu mengucapkan sebuah nama, lalu kau sigap berbalik ke arahnya. Salah itulah aku tahu nama indah itu milikmu, Drupadiku. Kau dan kawan-kawanmu mulai berujar satu sama lain. Di antara riuhnya ruang tamu Pak Kades suaramu timbul tenggelam di telingaku, lalu hilang menjadi deru mesin-mesin pabrik, menjadi bunyi lokomotif dengan deretan gerbongnya yang membawa ratusan penumpang, melaju dengan sangarnya. Lalu, teriak ibuku membahana seketika sebelum akhirnya sebuah benda menyerupai batok kepala manusia jatuh tepat di depan mataku. Kepala Ibu terpisah dari badan yang juga tak kalah remuknya. Aku benci kebisingan dan aku benci manusia yang terus saja membuat keributan dengan suaranya. Suara-suara itu membuat sakit kepalaku. Sakit luar biasa.
Aku masih sadar ketika tubuhku tersungkur ke tanah dan akhirnya gelap itu menghampiriku. Tak berapa lama pelan-pelan kubuka mataku, lalu kau tengah memegang erat tanganku dengan senyum kelegaan tersungging di sudut-sudut bibirmu. Aku suka senyummu dan aku mulai menyukaimu. Kau kenakkan jaket kulit itu di badanku.
“Biar hangat,”
Katamu sambil masih tersenyum begitu indah. Aku juga tersenyum. Kau mulai menuliskan semua hal tentang dirimu pada secarik kertas. Kau tahu aku benci suara. Namamu Seruni seorang mahasiswa psikologi dari UI. Aku tak mengerti apa maskud tulisanmu, UI, psikologi, semunya tabu bagiku. Aku hanya memahami kalimat terakhirmu “aku akan menemanimu”.
Sejak saat itu kau sering datang ke rumahku yang sepetak itu, membawa tulip hitam yang lalu kau letakan di meja dekat jendela. Kau sering menemaniku minum secangkir kopi sambil melihat rintik-rintik hujan yang magis namun beraroma romantis. Kau tak pernah bicara apapun padaku selain sebentuk lengkungan manis di bibirmu. Aku tahu bahwa tiap waktu kau terus amati tingkah lakuku. Saat aku kesakitan kau pegangi tanganku erat lalu tersenyum penuh kelegaan melihatku baik-baik saja. Kau bilang kau akan ke Jakarta dan membawa data-dataku. Meski aku tak mengerti, tapi aku kesal.
Seminggu berlalu sejak aku
menunggumu setiap hari. Aku mulai merindukanmu. Merindukan senyum ayumu yang
menyejukan itu. Tulip yang kau bawa itu selalu kusirami tiap pagi, siang, dan
sore, sampai ia mekar dan hitamnya menandakan kesunyianku sejak kepergianmu.
Lalu tiba-tiba kau datang saat aku tengah menyirami tulip hitam sekusakaanmu
itu. kali ini berbeda dengan yang kuharapkan. Senyum bahagiaku menguap saat
yang datang ternyata bukan hanya kau, juga beberapa lelaki tua bersamamu. Aku
benar-benar marah padamu, mereka, orang-orang dengan jenggot putih dan kepala
botak seperempat itu, terus saja membuat kebisingan di rumahku. Membuat sakit
kepalaku. Kupikir kau tahu bahwa aku benci suara, aku benci manusia selain kau.
“aaaaggggghhhhh”
Aku tak tahan lagi. Inilah kali
pertama aku bersuara setelah kematian tragis ibuku di rel kereta dulu. Aku
memegangi kepalaku masih dengan erang kesakitan yang tak tertahankan. Kulihat
kau menangis memohon pada mereka untuk menghentikan kegaduhan itu, menghentikan
lonceng yang tengah mereka bunyikan, menghentikan jimbe yang tengah mereka
pukuli. Kau terus menangis. Ya menangis untukku.
“Saya mohon
profesor hentikan, suara itu semakin menyakitinya.” Ucapmu memohon.
Orang-orang tua
berjenggot putih dengan kepala botak seperempat itu lalu berhenti.
Kau masih terus memelukku sambil
menahan isak yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bulir-bulir bening dari
perigi matamu itu menjatuhi pipiku dan matamu telah memerah. Sejak kejadian itu
kau tak lagi sekalipun meninggalkanku. Kau bilang bahwa kau mencintaiku. Aku
begitu senang karena aku pun telah mencintaimu sejak kali pertama kulihat
senyummu.
Tiga tahun sudah setelah pernikahan, kita begitu bahagia. Hari-hari menjadi lautan kaih yang kau berikan dengan tulus padaku. Menikmati senja dengan secangkir kopi, mencumbu malam dengan cahaya rembulan penuh romantika. Aku menjadi makhluk paling bahagia. Meski hanya berdua dalam diam, kita begitu bahagia.
“Aku mencintaimu, tapi ijinkan aku untuk mencintai yang lain.”
Posting Komentar untuk "Alienisme"