Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Masuklah, di Luar Hujan!

foto: wanita.me
Tengah malam aku terbangun dan mendapatinya melakukan sesuatu yang tak kuinginkan, sama sekali tidak kusukai. Kami hanya terdiam. Tak ada satupun dari kami yang menatap mata satu sama lain. Kami seakan dilebur pada situasi canggung yang entah bagaimana harus diselesaikan. Kupandangi langit-langit kamar yang remang, tak berani menoleh ke arahnya. Dari sudut mataku, kulihat ia pun tarpaku, diam seribu bahasa. Hanya suara sepasang cicak yang bersahutan di tengah malam yang meninggi, hati yang sunyi, dan suasana yang seketika hampa.
Sepasang cicak berkejaran, memenuhi dinding-dinding malam yang dingin. Keduanya tampak asyik diliput gelora asmara. Ketika bertemu, keduanya beradu, cukup lama, cukup untuk membuatku sebal karena rasanya mereka sedang mengejek kami di situasi yang tak mengenakan ini. Ah, barangkali memang seperti itulah seharunya. Sepasang kekasih bercumbu mesra di malam buta. Entah telah berapa lama sejak api asmara di antara kami mampu membakar seisi ruangan ini. Entah sejak kapan ketika gairah terakhir kali menyala.
Kalau kau bicara cinta, cinta kami agaknya seperti hidangan kemarin sore yang lupa untuk dihangatkan. Anyep! Yang tersisa di antara kami barangkai hanya sunyi sebab memendam keinginan dan menguburnya dalam-dalam. Tak saling jujur mengungkapkannya. Dan, di sinilah kami, terperangkap dalam situasi canggung ini.
Tahun-tahun telah berlalu. Jika kau bilang waktu tak akan mampu meruntuhkan cinta yang membara, barangkali kau harus berpikir ulang. Saranku, periksakanlah dirimu ke dokter untuk memastikan apakah benar kau tidak sedang menderita penyakit “angan-angan berlebihan”. Sebab, nyatanya waktu telah benar-benar melahap hampir sebagian besar ingatan kami tentang cinta, asmara, romantika. Meski uban belum tumbuh, tapi kebersamaan kami telah cukup untuk membuat hal-hal picisan semacam itu menghilang selama kemarau panjang.
Aku tak bisa mengatakan kepadamu hal apa yang ia lakukan yang tak kusukai dan menciptakan situasi canggung ini. Tentu saja, itu rahasia sepasang suami istri tua. Yang jelas aku tak suka ia melakukannya dan ia tahu aku tak suka ia melakukannya.
Musim hujan telah benar-benar datang. Suaranya memecahkan situasi dan memaksa kami untuk segera menyelesaikannya. Kulihat ia mulai bergerak memperbaiki posisi duduknya. Aku yang sedari tadi berbaring memutuskan untuk bangkit dan duduk tanpa menghadap ke arahnya.
Dapurku! Ya, dapurku. Aku ingat atap dapurku beberapa waktu lalu sempat bocor dan belum diperbaiki. Kemarau terlalu panjang sampai kami lupa dan membiarkannya. Aku yakin hujan yang deras ini sudah menerobos celah-celah atap dapurku dan membuatnya seperti kapal pecah. Tapi, beginilah wanita. Selalu saja ada perasaan tak ingin mengakhiri konflik lebih dulu. Tidak, pikirku. Aku ingin ia tahu bahwa hal yang telah ia lakukan benar-benar menyakiti hatiku. Karenanya aku tetap diam di posisiku.
Seolah tahu bahwa aku tak akan pergi memeriksa dapur, ia kemudian perlahan bangkit dan membuka pintu kamar. Aku yakin ia akan pergi memeriksanya. Memastikan bahwa dapur kami baik-baik saja. Agaknya, laki-laki memang seperti itu, memastikan yang lain baik-baik saja lebih penting dibanding memastikan aku baik-baik saja.
Aku masih berdiam di atas ranjang ketika kudengar ia memanggilku. “Buk, tolong ambilkan peralatan di gudang.” teriaknya yang terdengar agak samar. Aku masih enggan beranjak sampai kudengar suara genteng menggelinding dan terjatuh di dapur. “Bapak!” teriakku spontan. Barangkali beginilah perasaan istri, semarah apapun kau pada suamimu, kau akan tetap mengkhawatirkannya dalam situasi yang barangkali tengah membahayakannya. Seketika aku bergegas memastikan bukan ia yang terpeleset dan terjatuh.
Ia, lelaki tua yang telah bersamaku bertahun-tahun itu, tengah diguyur hujan deras di tengah malam buta, berjuang memperbaiki genteng atap dapur yang bocor. Semata-mata agar dapurku, dapur kami, dapur kecil yang telah menjadi saksi kebersamaan kami itu, tak porak-poranda oleh air hujan. Kuambilkan peralatan yang ia butuhkan dan kuberikan padanya. Setiap kali kulihat ia berjuang demikian keras, rasa marahku, rasa kecewaku perlahan luruh. Sebaliknya, aku diliput rasa bersalah. Barangkali karena aku menua lebih dulu darinya. Sebagai wanita, aku mengakui itu.
“Masuklah, di luar hujan!” katanya membuyarkan lamunanku.
Rasanya, begitulah masa tua bekerja. Sekali waktu kau barangkali akan mendapati ibumu menangis tersedu di sudut kamar karena ayahmu menyakitimu. Di lain waktu, barangkali kau akan mendapati ayahmu menyeruput kopi pahit di teras rumah sambil melamun panjang karena sikap ibumu yang keterlaluan. Tetapi, masa tua tidak akan pernah memisahkan mereka. Mereka akan tetap bersama meski cinta tak lagi berbentuk romantika yang membara dari sepasang cicak di dinding yang dingin. Hujan deras, atap yang bocor, dan secangkir teh hangat membuat kami kembali duduk bersama.
13 November 2019


Posting Komentar untuk "Masuklah, di Luar Hujan!"