The Art of Self Defense (2019): Membongkar Mitos Maskulinitas
Oleh Neneng Pratiwi
Rating imdb: 6.8/10
rotten tomatoes:
83%
“I want to be what intimidates me,” ucap
Casey pada sang Sensei.
Seperti yang disepakati oleh kalangan penganut budaya patriarki,
maskulinitas cowok sudah barang tentu punya pakemnya sendiri. Semisal, cowok yang
hobi beladiri pasti kelihatan lebih manly
ketimbang cowok yang hobi gonta-ganti skincare. Ngaku deh girls, masih ada
stereotype kayak gitu di masyarakat kita. Padahal, cowok pakai skincare itu ya
wajar saja, toh itu bagian dari cara mereka merawat diri.
Sisi maskulinitas yang anggaplah masih sangat konservatif, coba diangkat
oleh Riley Stearns dalam film-nya yang bertajuk The Art of Self Defense (2019). Dengan mengangkat karate sebagai
tema besar dalam film ini, Stearns menyampaikan pesan bahwa di zaman yang
katanya menjunjung kesetaraan dan kebebasan berekspresi ini, kegagahan lelaki
masih saja dikategorisasi. Casey Davies (Jesse Eisenberg) menjadi sample kasusnya.
Kamu bisa tonton trailernya di sini.
Casey dalam film ini diceritakan sebagai lelaki yang menurut ukuran
masyarakat penganut patriarki – kurang manly.
Cenderung penakut dan parnoan. Puncaknya, setelah ia mengalami penyerangan oleh
sekelompok geng motor yang tidak dikenal pada malam yang mencekam. Sempat
terpikir olehnya untuk membeli senjata api, namun gagal. Tak dinyana, Casey yang
bekerja sebagai penjaga perpustakaan malah bergabung dalam kelas karate yang
kemudian mengenalkannya pada dunia bela diri yang baru dan menantang baginya.
Isu maskulinitas yang konservatif dalam film ini tergambar dalam salah satu
bagian dialog ketika Sensei (Alessandro Nivola) memberi masukan pada Casey
untuk jadi lebih ‘laki’. Yakni dengan cara lebih sering membeli kaset CD heavy metal dan belajar bahasa asing
semisal bahasa Jerman atau Rusia yang bakal bikin Casey kelihatan lebih
‘tangguh’. Sungguh dialog menggelitik yang bakal bikin kita bergumam: seriusan, heavy metal cuma boleh didengar
oleh cowok? Apa kabar cewek yang jadi fans garis kerasnya Metallica? Terus,
cowok nggak boleh gitu kalau dengar lagu pop ballad yang mendayu-dayu?Memangnya
ada ya, kategori bahasa yang manly dan
yang feminin?
Film bergenre dark comedy ini
sekaligus menjadi studi kasus kalau masyarakat kita, pun itu di negara barat,
masih sangat konservatif dalam mendefinisikan maskulinitas. Kategorisasi cowok
maskulin dibuat berdasarkan preferensi personal saja, seperti genre musik
misalnya. Attitude nomor sekian, yang penting si cowok fans-nya Metallica,
sudah auto dicap manly.
Padahal cowok kelihatan lebih manly
kalau lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Contoh nyatanya sih mendahulukan
kaum wanita untuk dapat tempat duduk saat di KRL. Atau sesederhana nggak
merokok di depan perempuan hamil. Rasa-rasanya itu jauh lebih terlihat ‘laki’
ketimbang hanya sekadar menunjukkan preferensi musik.
The Art of Self Defense dari segi kehadirannya di industri film, layak mendapat
apresiasi. Menggabungkan 2 tema yang hampir jarang dibahas – karate dan
maskulinitas. Setidaknya menjadi penyeimbang di tengah gencarnya film
bertemakan feminisme salah satunya film charlies-angels
yang akan segera tayang. Film yang ditulis sendiri oleh Stearns ini mencoba
mewakili keresahan para lelaki yang tingkat kegagahannya masih saja dikategorisasi.
Film yang rilis Juli lalu ini bisa menjadi referensi kamu kalau-kalau diajak
debat tentang seberapa manly-nya sih
cowok.
Sumber gambar:
Posting Komentar untuk " The Art of Self Defense (2019): Membongkar Mitos Maskulinitas"