Parasite (2019): Membaca Kesenjangan Sosial Masyarakat Korea Selatan
Oleh Neneng Pratiwi
![]() |
foto: cinemas.go.id |
IMDb rating: 8.6/10
Rotten Tomatoes rating: 99%
Agaknya cerita si miskin dan si kaya yang kerap menjadi
langganan cerita drakor (drama Korea red-), masih menjadi formula yang dilirik
oleh sineas Korea. Kali ini sekelas Bong Joon Ho, tentunya dengan formula yang
terbilang brilian. Bukan, Parasite yang
rilis pertengahan tahun ini bukan tentang percintaan gadis miskin selebor
dengan Don Juan dari kalangan tajir melintir yang cool. Melainkan tentang sebuah keluarga miskin yang menyusup
perlahan, ‘mencuri’ kehidupan sebuah keluarga kaya yang terpandang.
Mungkin kamu sudah tidak asing dengan review yang
sliweran di dunia maya tentang film yang berdurasi 2 jam lebih ini. Apalagi
setelah film ini diganjar penghargaan Palme d’Or yang merupakan penghargaan
nomor wahid di Cannes Film Festival 2019.
![]() |
foto: nytimes.com |
Film yang bergenre dark
comedy thriller ini bercerita tentang Ki Taek (Song Kang Ho) bersama istri
dan dua anaknya yang miskin dan tinggal di basement kumuh. Namun, mereka
sekeluarga kemudian berkesempatan mengubah nasib setelah si anak - Ki Woo (Choi
Woo Shik) mendapat pekerjaan sebagai guru les bahasa Inggris bagi seorang anak
cewek dari keluarga Park yang super kaya. Kesempatan inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh Ki Woo untuk secara perlahan ‘menyusupkan’ seluruh anggota
keluarganya supaya bisa bekerja di keluarga Park.
Selain jalan cerita yang unik dan tidak tertebak, topik
kesenjangan sosial masyarakat Korea Selatan menjadi hal yang menarik untuk
dikulik. Semisal bagian cerita di mana Ki Taek beserta anggota keluarganya melahap
pizza dengan harga murah – camilan yang sama bagi keluarga Park hanya saja
mereka menggunakan daging kelas premium sebagai topingnya. Wifi bagi keluarga
Park adalah kebutuhan level mendasar, di saat yang bersamaan Ki Woo dan
kakaknya berupaya keras mendapat wifi gratisan, meski harus berjibaku di toilet
kecil mereka.
![]() |
foto:nytimes.com |
Penggambaran keluarga Ki Taek yang miskin dan keluarga
Park yang dilimpahi kemewahan bukanlah distopia. Sebagaimana film adalah
cerminan sosial budaya masyarakatnya. Pun dengan Parasite yang menggambarkan gap
sosial di Korea Selatan.
Sebagaimana dikutip dari Kyung Hyun Kim – Profesor Studi
Asia Timur di California University dan penulis beberapa buku tentang sinema
Korea, pada tahun 2015, 10% teratas warga Korea Selatan memiliki 66% kekayaan
negara. Sementara itu warga miskin yang mencakup setengah populasi rakyat
Korsel hanya memiliki 2% saja (nytimes.com).
Kesenjangan sosial yang nyata di Korsel memunculkan
istilah baru di negeri Gingseng tersebut. Yakni tentang sendok emas dan sendok kotor. Siapa yang terlahir dari keluarga
dengan sendok emas, itulah yang berhasil. Sebaliknya, si miskin dengan sendok
kotor – selamanya akan terus berjuang.
Di Korea Selatan, mereka yang berkuasa seolah punya hak
istimewa untuk dapat akses di dunia pendidikan dan dunia kerja. Yang demikian
nampak jelas terjadi di tahun 2016 lalu. Ketika sang presiden – Park Geun Hye
dipecat, di mana salah satu dakwaannya turut terlibat dalam skandal Choi Soon
Sil. Soon Sil kala itu berkonspirasi dengan pihak kampus dan profesor demi
membantu sang anak – Chung Yoo Ra untuk mendapat nilai bagus meski jarang masuk
kuliah dan tugas jarang dikerjakan.
Jadi, sebenarnya tema besar yang menjadi benang merah di Parasite bukanlah hal yang mustahil.
Melainkan berangkat dari kenyataan yang terjadi di negeri Gingseng. Buat kamu
yang belum nonton, film ini bisa jadi referensi tontonan akhir tahun nih.
Posting Komentar untuk "Parasite (2019): Membaca Kesenjangan Sosial Masyarakat Korea Selatan "