Mengulas Joker (2019): Mental Illness dan Alasan Sebuah Kejahatan
Siapa
yang tidak berdecak kagum setelah menonton film yang barangkali menjadi salah
satu film terbaik 2019 ini? Yep, Joker
(2019) garapan Todd Phillips ini patut diacungi jempol. Kesan setelah menonton
film ini selain menarik napas panjang dan dalam adalah standing applause untuk semua yang terlibat dan terutama sang aktor
yang luar biasa, Joaquin Phoenix.
Apa
yang membuat film ini kemudian demikian mendapat antusiasme dari masyarakat
adalah karena Joker garapan Todd
Phillips ini benar-benar menampilkan alasan mengapa seorang penjahat psikopat
berdarah dingin melakukan kejahatan yang keji. "Joker," karya Todd
Phillips seakan membangkitkan reaksi keras terhadap kekerasan dan ambiguitas
moral yang terjadi di masyarakat.
Film
ini digarap oleh Todd Phillips dan diproduseri oleh dia sendiri beserta Bradley
Cooper, dan Emma Tillinger Koskoff. Todd Phillips juga turut dalam penulisan
naskah bersama Scott Silver. Film ini bahkan mendapat rating IMDB sebanyak
8,8/10 sejak ditayangkan di Amerika Serikat pada 4 Oktober 2019 dan Indonesia
pada 2 Oktober 2019. Sebelumnya film ini terlebih dulu ditayangkan di Festival
Film Venesia pada 31 Agustus 2019.
Majalah
finansial Forbes melaporkan,
dalam waktu lima pekan pertamanya di bioskop film ini telah berhasil
meraup pendapatan sebesar US$ 304,2 (sekitar Rp 4,258 triliun) di wilayah
Amerika Utara dan US$ 963 juta (sekitar Rp13,482 triliun) secara global.
Pendapatan ini mencapai belasan kali lipat dari budget produksi yang hanya
sebesar US$ 62,5 juta (sekitar Rp 875 miliar).
Siapa Joker?
Sebelum kita bahas lebih dalam, kita ulas sedikit tentang tokoh fenomenal
yang satu ini. Joker adalah super-villain
misterius dan musuh terbesar Batman, sebuah karakter dalam DC Comics. Arthur
Fleck, diperankan oleh Joaquin Phoenix, adalah seorang pria paruh baya miskin
yang bekerja sebagai badut pesta di kota Gotham, sebuah kota yang penuh kejahatan. Ia adalah orang terpinggirkan
yang kesepian dan kemudian berubah menjadi nihilistik, melihat dunia sebagai sesuatu
yang kejam dan tidak adil.
Arthur sangat kurus, wajahnya cekung dan pucat. Meskipun ia
tidak menjijikkan, penampilannya yang tidak rapi dan aneh menyebalkan bagi
orang lain. Tidak hanya aneh secara tampilan fisik, Arthur juga digambarkan
memiliki kepribadian yang aneh. Dalam banyak hal, Arthur adalah produk dari society,
ia bahkan mampu memengaruhi orang lain
untuk mengucilkan, menggertak, atau menghindarinya, yang pada gilirannya,
membuatnya terasing, tumbuh lebih aneh, dan mau tidak mau kehilangan kesempatan
untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Begitulah society memandang seorang
Arthur Fleck. Pada kenyataannya dia adalah seorang yang demikian menderita
dengan penyakit mental yang diidapnya.
Phatological Laugher dan Emphatic Crisis
Harus
diakui bahwa Joaquin Phoenix berhasil membawakan
karakter Arthur yang menderita mental illness ini dengan sangat baik.
Phatological Laughter yang didapnya adalah sebuah kondisi yang disebut
Involuntary Emotional Expression Disorder (IEED), juga dikenal sebagai pengaruh
pseudobulbar, memang merupakan penyakit neurologis yang nyata yang ditandai
oleh labilitas emosional dan tawa patologis. Gangguan ekspresif ini ditandai
dengan episode tawa yang tak terkendali, tiba-tiba, dan intens (atau untuk
beberapa pasien, menangis) yang berlebihan dan tidak sesuai dengan suasana hati
yang mendasarinya. Episode-episode ini bisa berlangsung lama, dan seringkali
memalukan dan melemahkan secara sosial bagi individu yang berjuang untuk
menyampaikan emosi nyata mereka.
Arthur
hidup dengan kondisi neurologis yang digambarkan dalam film sebagai tawa
spontan yang seringkali tidak tepat waktu dan tidak pantas secara sosial.
Episode biasanya dipicu oleh perasaan gugup, cemas, atau malu yang intens. Kondisi
ini disadari Arthur yang seringkali mencoba mengendalikan diri hingga
membuatnya menangis, gagap, bahkan tersedak parau. Penyakit ini benar-benar
menggerogoti seorang Arthur Fleck secara emosional dan sosial.
Alih-alih
mendapatkan simpati atau empati, apa yang didapatkan seorang pengidap mental
illness dalam kehidupan sosialnya? Penolakan, pengucilan, pembuangan,
kebencian, bahkan kekejaman. Masyarakat Gotham mengalami krisis empati yang tak
jarang justru menjerumuskan seorang seperti Arthur untuk melakukan tindak
kejahatan. Dipukuli, dianggap aneh, dianggap pecundang, diledek, ditakuti, dihindari,
selalu menjadi balasan atas perjuangan Arthur untuk berusaha diterima di dalam
masyarakat.
“The
worst part of having a mental illness is people expect you to behave as if you
don’t.” (Joker, 2019)
Bahkan, pihak yang seharusnya memberikan pelayanan
psikologis untuknya juga tidak memberikan rangkulan dan cenderung abai dengan
apa yang sebenarnya dialami oleh Arthur.
“You
don’t listen, do you? I don’t think you ever really listened to me. You just
ask the same questions every week. “How’s your job? Are you having any negative
thoughts?” All I have are negative thoughts. But you don’t listen.” (Joker, 2019)
Joker Menjadi Simbol “Pahlawan” di tengah gelapnya
Masyarakat Gotham
Pada
dasarnya, ketika diamati lebih dekat, Joker (Arthur Fleck) ini secara inheren
tidak provokatif. Buktinya, Arthur memiliki sedikit kesadaran tentang bagaimana
ia bertemu dan bersikap dengan orang lain. Dia sendiri menyadari bahwa dirinya
aneh, meski tak cukup memahami bahwa dirinya membuat orang lain gelisah.
Kesadaran ini juga tampak ketika dia memikirkan cara bagaimana agar orang lain
dapat menerimanya yakni dengan menjadi seorang komedian yang sukses. Terlepas
dari semua hal, rupanya kehidupan Arthur yang sebenarnya adalah kehidupan yang
sepi, sendiri, berulang-ulang, tidak menguntungkan, dan penuh dengan kekacauan.
Gambaran ini seakan-akan merupakan refleksi pemandangan Kota Gotham yang suram
tanpa harapan.
"Is it just me, or is it getting crazier out
there?"
Kehadiran
Joker di tengah masyarakat Gotham yang krisis, korup, dan tak lagi memiliki
harapan karena telah terlalu dalam kecewa terhadap pemerintahan rupanya menjadi
satu spirit bagi mereka yang telah terlalu jengah dengan keadaan.
Munculnya
Joker, sang badut pembunuh, kemudian membawa semangat masyarakat untuk
melakukan demonstrasi dengan mengenakan atribut badut. Bahkan, di akhir film,
Joker digambarkan berada di tengah-tengah kerumunan demonstran beratribut badut
yang mengelu-elukannya. Bisa dikatakan bahwa ketika masyarakat telah terlanjur
kacau oleh sistem yang korup, keadaan menjadi chaos tanpa harapan, kemunculan seorang nihilistik seperti Joker
dapat menjadi simbol harapan dan pemberontakan bagi mereka. Meskipun, yang
dilakukan oleh Joker adalah sebuah kejahatan.
Tapi, Apa yang Berbahaya dari Penggambaran
ini?
Joker mencoba memberi isyarat
kepada penonton bahwa ia sangat peduli dengan kesehatan mental Fleck dan bahwa
ia bersimpati dengan keadaan buruknya. Kesehatan mental Fleck mulai menurun
setelah Gotham memotong dana untuk layanan sosial, memaksanya untuk
meninggalkan sesi terapi dan membuat obat-obatannya tidak dapat diakses. Harus
disadari bahwa nyatanya film ini memang mengutuk kurangnya penerimaan
masyarakat bagi orang-orang dengan penyakit mental, tetapi di sisi lain film
ini juga seolah menawarkan kesempatan kepada penonton untuk melakukan pembenaran-pembenaran
terhadap hal yang salah.
Beberapa orang khawatir bahwa Joker memuliakan balas dendam dan bisa
menginspirasi orang-orang yang mengalami demoralisasi serupa untuk meniru tindakan
kejahatan atau untuk bersikap amoral.
Joker
adalah simbol. Yes, it’s true! Simbol dari sikap masyarakat kita yang
seringkali menjadi penyebab seseorang melakukan tindak kejahatan. Meski begitu,
tindakan kejahatan tetap tidak bisa dibenarkan ataupun dijadikan pembenaran.
Mestigmatisasi penyakit mental sebagai penyebab dari kejahatan adalah bentuk
kejahatan tersendiri.
express.co.uk
imdb.com
giphy.com
Posting Komentar untuk "Mengulas Joker (2019): Mental Illness dan Alasan Sebuah Kejahatan"