Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sebab Kita Berhak Bahagia, dengan atau Tanpa Dia

pexels.com


“Ketika dia tak lagi mencintaimu, ketika dia tak lagi menghargaimu, ketika dia tak bisa melihat ketulusanmu, barangkali inilah saatnya kamu berhenti untuk membohongi diri sendiri.  Sebab, kamu berhak bahagia dengan atau tanpa dia.”

Menjatuhkan perasaan pada seseorang yang tak pernah menghargainya adalah satu kesalahan yang entah bagaimana seringkali dilakukan banyak orang, barangkali kita salah satunya. Kita tahu kita mencintainya, maka kita melakukan seluruh upaya untuk membahagiakannya. Kita tahu kita menyayanginya, maka kita melakukan banyak hal untuk sekadar membuatnya tersenyum ceria. Kita juga tahu kita peduli terhadapnya, maka kita merelakan seluruh waktu hanya untuk memikirkan segala hal tentangnya. Entah telah berapa sering kita menekan ego demi membesarkan ego orang yang kita cintai. Atas nama kebahagiaannya, kita rela menekan apa yang sebenarnya kita rasakan, apa yang sesungguhnya kita inginkan.  Mungkin saja kita telah lama lupa bahwa kita pun berhak bahagia. 

Ada yang bilang jika kamu mencintai seseorang kamu akan bahagia hanya dengan melihatnya bahagia. Benarkah? Benarkah kita akan benar-benar bahagia hanya dengan melihatnya bahagia? Tidakkah kita juga membangun harapan-harapan yang entah bagaimana seringkali luluh lantah dilebur kekecewaan. 

Bukankah sebuah hubungan dibangun oleh dua orang yang semestinya melakukan upaya yang sama untuk mempertahankan ikatan itu? Jika kita mencintainya rasanya bukan hal yang salah ketika kemudian kita mengharapkan ia melakukan hal yang sama, mencintai kita. Jika kita tulus melakukan segala upaya untuk mempertahankan ikatan ini, bukankah semestinya dia juga melakukan hal yang sama? 

Lalu apa jadinya jika hanya kita yang berjuang? Apa jadinya ketika dalam hubungan ini hanya ada tentangnya, tentang keinginannya, tentang egonya? Apa jadinya jika segala hal yang telah kita lakukan tak berarti apa-apa baginya?

Memang benar bahwa cinta adalah perasaan murni yang tak seharusnya dibebani oleh harapan-harapan. Entah berapa banyak orang yang beruntung karena jatuh cinta pada orang yang juga mencintainya. Betapa beruntungnya mereka. Namun, tak sedikit dari kita justru mengalami hal sebaliknya, menjatuhkan perasaan pada orang yang bahkan tak pernah menyadari perasaan ini ada. Lalu, sebagian yang lain harus bertahan mencintai orang yang tak pernah menyadari ketulusannya, merelakan segala yang tersisa dalam hatinya untuk menunggu seseorang itu menyadari betapa berharganya diri kita. 

Barangkali kita pernah menangis diam-diam, di sudut ruangan, di antara malam-malam sunyi, meringkuk memeluk lutut sendiri, lalu menghitung air mata yang jatuh setiap kali harapan-harapan tentangnya tak juga berujung nyata.  

Barangkali kita juga pernah termenung di antara dentang jam, di antara deras hujan yang jatuh membasahi hati yang telah patah, lalu melipat seluruh kenangan bersamanya dalam lagu-lagu sendu. Ingin rasanya membuang seluruh perasaan untuknya lalu membenamkannya ke dasar ingatan. Namun, ketika kembali tersadar, kita justru tak berdaya. 

Kita tidak akan pernah tahu kapan tepatnya kita mampu menyerah pada hati yang telah terlanjur patah. Sebaliknya, kita terlalu terbiasa membesarkan hati bersama tumpukan harapan yang barangkali suatu hari gugur dilebur kekecewaan. Maka, jika itu terlalu sulit, pergilah. Jika mempertahankan segalanya terlalu menyakitkan, berhentilah.  

Berhentilah membohongi diri sendiri bahwa kita baik-baik saja meski orang yang kita perjuangkan itu tak pernah menghargai sedikitpun ketulusan kita. Berhentilah membohongi diri sendiri bahwa kita baik-baik saja meski dia tak pernah menghargai keberadaan kita. Kita berhak memperoleh kebahagiaan yang sesunggunya. Kita berhak dicintai dan mencintai orang yang benar-benar rela membersamai kita, saling memperjuangkan, dan saling menguatkan. Kita berhak bahagia, dengan atau tanpa dia. 

***



Posting Komentar untuk "Sebab Kita Berhak Bahagia, dengan atau Tanpa Dia"