Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cerpen : Obituari Dalam Surat Kumal

Cerpen Obituari Dalam Surat Kumal

Lelaki 30-an itu masih membisu, di tangannya ada sepucuk surat usang. Ia masih menatap ke kejauhan, dipandanginya dedaunan yang gugur bulan Desember. Ia ingat, di tempat yang sama dulu, seorang lelaki tua menatapnya.

Memang benar, diam menjadi jalan paling bijak rupanya. Siluet lelaki tua itu kini memandanginya lagi. Barangkali ia tengah menyesali dirinya yang juga masih remaja kala itu. Tak ada yang tahu bahwa banyak hal yang tak bisa diselesaikannya saat masih remaja. Seorang remaja tak tahu apa yang benar-benar diinginkanya. Surat usang itu berhasil melemparkannya pada kenangan, pada memori silam. Ia lelaki, ia tahu ia tak bisa menangis.

"Cak tahu? banyak hal yang ingin kudengar," tutur lelaki itu lirih, pelan menembus awan hitam, juga riuh hujan, masih di bulan Desember. Ia sendiri tak paham, mengapa dedaun berguguran pada musim hujan, musim semi. Tapi, bukankah banyak hal memang tak terbaca logika? termasuk kata-kata. "Mengapa Cak diam?" lagi-lagi suara parau itu menyuguhkan tanda tanya. Tatapan mata itu, seperti ada ribuan kata menggunung dan menggenang di dalamnya.

Kini ia benar-benar ragu pada dirinya sendiri juga pada dunianya. Kenapa? bukankah ia telah lama menunggu saat-saat seperti ini, saat di mana hanya ada dirinya dan gambaran lelaki tua yang begitu ia kagumi itu. Akhir senja dan larut yang lengser. Ditiliknya arloji model G-shock yang melingkar di pergelangan tangannya itu. Hari memang sudah pagi, meskipun masih lumayan buta. Satu lagi benda dari masa lalu yang masih dijaga dan digunakannya, arloji tua pemberian lelaki tua itu. Kuno memang, tapi harus diakuinya, benda itu cukup ngetren tahun itu, tahun 90-an, juga sebuah buku 250 halaman karya Pramodya Ananta Toer.

Ada kalanya satu benda kecil bisa jadi penguat memori manusia, walau bagaimanapun  arloji  dan buku itu juga merupakan bagian dari sejarah. Ia ingat kata-kata lelaki tua itu dulu, sejarah takkan pernah mati, seperti Tuhan menciptakan ingatan manusia begitu juga manusia mempertahankan ingatan itu.

"Hei, kenapa Cak terus diam?" Ia mulai tak suka, gambar lelaki tua itu tak bicara, diam. Mungkin benar, lelaki tua itu tak suka bicara. Dengan bicara sebuah rahasia gaib akan dengan mudah terkuak, dengan bicara orang lain akan mudah menebak pikirannya yang rumit. Maka lelaki itu paham, lelaki tua itu ingin tetap mempertahankan misterinya. Lelaki tua berusia 60-an itu, Pak Pandir.

"Kalau begitu saya saja yang bicara dan Cak yang mendengar." Lelaki itu mengalah, tapi bukan berarti ia menyerah.

Mulailah lelaki 30 an itu bercerita.

"Saya menemukan diri saya menghilang dalam kotak kecil ini," sambil menunjukan sebuah kotak kayu kecil serupa kotak musik, tapi bukan. Lelaki itu kembali menatap bayangan itu lekat. "Beberapa hari lalu, kuterima tumpukan kertas kumal ini dalam satu amplop putih yang telah berubah kekuningan."

Lelaki itu tahu gambaran Pak Pandir  yang kini ada di hadapannya itu masih sama persis seperti saat kali pertama pertemuan mereka.Tak ada yang tahu apalagi bisa meraba jalan pikirannya.

Hari itu hujan lebat. Sangkin lebatnya, kayu-kayu di samping sekolah tumbang terseret angin. Tak ada pilihan lain selain berteduh di toko buku bekas dekat sekolah yang selalu ia lewati saat pulang. Lelaki tua itulah pemiliknya, Pak Pandir. Meski begitu, ia tak sepandir namanya. Sebaliknya, ia adalah orang terpandai yang pernah lelaki itu temui. Pak Pandir yang sudah berumur hampir 60-an itu meraba-raba penglihatannya. Ia memang sudah memakai kacamata setebal kaca jendela, buahnya menelan ratusan bahkan ribuan buku. Hampir semua buku-buku yang ada di tokonya sudah pernah ia baca.

“Hari ini nggak ada yang baru, pulang saja.” celetuk Pak Pandir dengan gayanya yang ketus.

Masih jelas rupanya gambaran lelaki tua itu. Ia ingat saat pertama kali ia menganal Pak Pandir, lelaki tua itu memberinya buku cetakan baru, bekas memang, tapi buku itu baru keluar. “Perawan dalam Cengkraman Militer” karya penulis agung Pramodya Ananta Toer. Saat itu, ia tak begitu yakin. Buku itu terlihat serius, sementara ia lebih suka menelan komik dan film-film.

“Baca komik boleh, tapi sekali waktu bacalah bacaan yang begizi.” Celetuk Pak Pandir sambil terus membalik-balikan buku-buku usang yang ia jual. Lelaki muda itu diam, ia tak banyak menanggapi celetukan lelaki tua penjual buku bekas itu. Lama-lama ia penasaran juga, usianya 18 kala itu, membaca kata perawan membuatnya sedikit tergelitik. “Judul yang genit,” ia bergumam.

“Tapi tak segenit otakmu,” seloroh Pak Pandir sambil menatap tajam ke arahnya. Ia kaget. Gumamannya sampai ke telinga Pak Pandir. Sejenak mata keduanya bertemu dan tak butuh waktu lama mereka terbahak, tertawa sampai sengkil.

“Kan sudah dibilang nggak ada stok baru.” Ucap Pak Pandir dengan nada tinggi.

“Cuma berteduh Cak, hujan lebat,” lirih lelaki muda itu sambil tersenyum. Ia lalu masuk ke dalam toko dan mendekti Pak Pandir yang masih asik dengan buku-buku usangnya. “Ya, usang.” Gumam lelaki muda  itu dalam hati. Di usia 18 biasanya seorang anak lelaki akan bergaul dengan cara remaja yang komunal. Melakukan hal-hal bebas demi eksistensi dan gejolak pubertas. Tapi ia tidak. Sejak masuk SMA ia memang tahu bahwa ia berbeda dengan anak laki-laki seumurannya. Barangkali gejala pubertas terlambat datang padanya atau bisa saja ia memang tidak tertarik dengan tingkah eksistensial yang baginya mubah. Karena itulah, saat ia mengenal Pak Pandir ia jadi kranjingan mondar-mandir di toko buku bekas milik Pak Pandir.

“Namamu itu aneh Cak, Pandir.” Celetuknya sambil berjalan menilik-nilik buku-buku tua.

“Aneh itu relatif cah bagus.” Tanggap Pak Pandir sigap dengan nada sedikit menyindir.

“Kamu sendiri ngga punya nama.” Kini Pak Pandir benar-benar mengejek. Lelaki muda yang masih menilik buku Bapak Revolusi Indonesia, Tan Malaka itu tertawa keras.

“Nama itu kan hanya label, hanya konvensi, hanya keumuman Cak, sementara saya tidak butuh label, juga tak butuh keumuman.” Jawab lelaki muda itu sambil terus mencari-cari buku. Lalu, keduanya terlibat dalam pergumulan obrolan konvensi pelabelan pada benda dan manusia. Begitulah selama hampir enam bulan setelah keduanya saling mengenal.

Hujan masih sangat lebat, kaca jendela toko buku bekas Pak Pandir dipenuhi tetesan bening yang menempel lalu mengalir menuruni garis-garis khayal.

“Ketemu Cak.” Ucap lelaki muda itu sontak.

Pak Pandir menoleh dengan ekpresinya yang khas, mata menyipit, dahi mengkerut, dan hidung kembang-kempis.

“Di Bawah Lentera Merah.” Tuturnya senang. Tak butuh waktu lama, lelaki muda itu mulai menelan ramuan penelitian Soe Hok Gie yang bertenaga itu. Pak Pandir mnedekatinya, sambil memegangi dada dan terlihat kesusahan bernapas, Pak Pandir lalu menceritakan sebuah kisah padanya. Kisah usang dari pemilik toko buku usang.

Pak Pandir berasal dari Jawa Tengah. Sudah setahun sejak ia datang ke tempat ini untuk mengadu nasib. Ia sebatang kara, tak ada sanak juga saudara. Kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Selebihnya, ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dan dua saudara perempuannya meninggal karena alasan yang penuh misteri.

Ia baru berusia sembilan tahun  saat itu, saat tiba-tiba kedua orangtuanya mengabarkan bahwa kedua kakak perempuannya yang sudah gadis mendapat bantuan untuk belajar ke Jepang. Ia sendiri tak tahu bahwa kepergian kakak perempuannya itu juga berarti kepergian mereka selama-lamanya dari rumah. Mereka berdua tak pernah kembali.

Kedua orangtua Pak Pandir menderita tekanan berat setelah itu. Sampai hari di mana kedua orangtuanya meninggal, kedua kakak perempuannya tak pernah kembali, bahkan untuk sekadar kabar berita. Ia menjadi sebatang kara. Dicarinya kabar kakak perempuannya tanpa putus asa. Ia tak pernah menyerah, hari, bulan, dan tahun berlalu begitu saja, tapi tetap saja tak ada berita tentang kakak perempuannya.

Suatu hari seorang juru tulis mendatanginya. Ia celingukan. Sama sekali tak tahu apa tujuan kedatangan juru tulis itu. Ia hanya bisa duduk diam saat sang juru tulis mulai berbicara panjang lebar tentang gadis-gadis remaja dari kampungnya, termasuk dua kakak perempuannya. Ia masih bocah maka ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia berjanji pada ayahnya untuk tak menangis karena ia laki-laki. Tapi, kabar itu begitu menghantam, menyambar tanpa ampun. Para gadis yang diimingi bantuan belajar belajar ke Jepang itu tak lebih dari hendak dijadikan Geisha, pelacur. Diangkut dengan kapal dan dijarah kehormatannya tanpa ampun. Kedua kakaknya tenggelam dalam pelarian, dalam perjuangannya melawan kebiadaban hewan berbadan manusia itu.

“Kenapa melongo?” Pak Pandir menghentikan kisahnya dan berbalik menatap lelaki muda itu. Ia tak tahu mengapa Pak Pandir menceritakan kisah itu padanya tiba-tiba. Barangkali, karena itulah Pak Pandir memberinya Perawan Dalam Cengkraman Militer

Tahun berlalu begitu cepat. Kini ia sudah benar-benar menjadi lelaki. Usianya 30-an sekarang. Setiap hari, ia begitu merindukan Pak Pandir, kawan sekaligus gurunya itu tak pernah lagi ia temui sejak ia lulus SMA dan pindah ke Jepang untuk belajar. Akhir tahun ini ia sengaja ingin kembali ke Indonesia. Banyak hal yang ingin diceritakannya tentang Jepang masa kini. Siapa yang tahu bahwa tempat yang paling diburu para pelajar ini begitu mengerikan bagi seorang Pak Pandir. Ia berniat mengajak Pak Pandir ke Jepang saat pulang nanti. Belum juga ia mendapatkan izin cuti dari universitas, setumpuk surat dalam sebuah amplop putih itu lebih dulu sampai padanya.

Ya, obituari. Barangkali seperti itu yang dulu Pak Pandir sebut sebagai kabar menghantam dan menyambar. Ditelitinya lagi lipatan kertas-kertas dalam amplop putih itu dan sebuah kotak kayu berisi sebuah kunci yang hampir karatan. Kuci sebuah toko buku bekas satu-satunya harta karun lelaki tua itu. Ia diam untuk waktu yang lama. Lebih dari kabar yang menghantam, kabar ini begitu menyesakkan. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada Pak Pandir juga janjinya yang belum ia tepati. 

“Saya akan membalaskan dendammu Cak,”

“Kamu nggak perlu balas dendam. Jadi orang yang hebat saja biar kamu bisa naklukin Jepang sama otakmu itu.” Lirih Pak Pandir sambil tersenyum hangat.

Tumpukan surat kumal itu menyesakkan, menyambar, dan sekejap saja mengambil sebagian dari kehidupannya. Obituari dalam surat kumal itu menyisakan kekosongan yang barangkali hanya bisa dirasakan orang-orang yang pernah mengalami kehilangan. ***

Posting Komentar untuk "Cerpen : Obituari Dalam Surat Kumal"